Rabu, 05 Januari 2022

hukum asal ibadah, haram sampai ada dalil

 โฌ›๏ธ๐ŸŸฆ Hukum Asal Ibadah, Haram Sampai Ada Dalil


Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc


Sebagian kalangan mengemukakan alasan ketika suatu ibadah yang tidak ada dalilnya disanggah dengan celotehan, โ€œKan asalnya boleh kita beribadah, kenapa dilarang?โ€ 


Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini tidak paham akan kaedah yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. 


Berbeda dengan perkara duniawi (seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. 


Jadi, kedua kaedah ini tidak boleh dicampuradukkan. 


Sehingga bagi yang membuat suatu amalan tanpa tuntunan, bisa kita tanyakan, โ€œMana dalil yang memerintahkan?โ€


Ada kaedah fikih yang cukup maโ€™ruf di kalangan para ulama,


ุงู„ุฃุตู„ ููŠ ุงู„ุนุจุงุฏุงุช ุงู„ุชุญุฑูŠู…


โ€œHukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).โ€


Guru kami, Syaikh Saโ€™ad bin Nashir Asy Syatsri โ€“semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata, โ€œ(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syariโ€™at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.โ€ (Syarh Al Manzhumah As Saโ€™diyah fil Qowaโ€™idil Fiqhiyyah, hal. 90).


โฌ›๏ธโฌ›๏ธ Dalil Kaedah


Dalil yang menerangkan kaedah di atas adalah dalil-dalil yang menerangkan tercelanya perbuatan bidโ€™ah. 


Bidโ€™ah adalah amalan yang tidak dituntunkan dalam Islam, yang tidak ada pendukung dalil. 


Dan bidโ€™ah yang tercela adalah dalam perkara agama, bukan dalam urusan dunia.


Di antara dalil kaedah adalah firman Allah Taโ€™ala,


ุฃูŽู…ู’ ู„ูŽู‡ูู…ู’ ุดูุฑูŽูƒูŽุงุกู ุดูŽุฑูŽุนููˆุง ู„ูŽู‡ูู…ู’ ู…ูู†ูŽ ุงู„ุฏูู‘ูŠู†ู ู…ูŽุง ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุฃู’ุฐูŽู†ู’ ุจูู‡ู ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู


โ€œApakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?โ€ (QS. Asy-Syuraa: 21).


Juga didukung dengan hadits โ€˜Aisyah radhiyallahu โ€˜anha, Nabi shallallahu โ€˜alaihi wa sallam bersabda,


ู…ูŽู†ู’ ุฃูŽุญู’ุฏูŽุซูŽ ููู‰ ุฃูŽู…ู’ุฑูู†ูŽุง ู‡ูŽุฐูŽุง ู…ูŽุง ู„ูŽูŠู’ุณูŽ ู…ูู†ู’ู‡ู ููŽู‡ููˆูŽ ุฑูŽุฏูŒู‘


โ€œBarangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.โ€ (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,


ู…ูŽู†ู’ ุนูŽู…ูู„ูŽ ุนูŽู…ูŽู„ุงู‹ ู„ูŽูŠู’ุณูŽ ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ุฃูŽู…ู’ุฑูู†ูŽุง ููŽู‡ููˆูŽ ุฑูŽุฏูŒู‘


โ€œBarangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.โ€ (HR. Muslim no. 1718).


Begitu pula dalam hadits Al โ€˜Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu โ€˜alaihi wa sallam bersabda,


ูˆูŽุฅููŠูŽู‘ุงูƒูู…ู’ ูˆูŽู…ูุญู’ุฏูŽุซูŽุงุชู ุงู„ุฃูู…ููˆุฑู ููŽุฅูู†ูŽู‘ ูƒูู„ูŽู‘ ู…ูุญู’ุฏูŽุซูŽุฉู ุจูุฏู’ุนูŽุฉูŒ ูˆูŽูƒูู„ูŽู‘ ุจูุฏู’ุนูŽุฉู ุถูŽู„ุงูŽู„ูŽุฉูŒ


โ€œHati-hatilah dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bidโ€™ah dan setiap bidโ€™ah adalah sesat.โ€ (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no. 46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kita baru bisa melaksanakan suatu ibadah jika ada dalilnya, serta tidak boleh kita merekayasa suatu ibadah tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.


โฌ›๏ธโฌ›๏ธ Perkataan Ulama


Ulama Syafiโ€™i berkata mengenai kaedah yang kita kaji saat ini,


ุงูŽู„ู’ุฃูŽุตู’ู„ูŽ ูููŠ ุงูŽู„ู’ุนูุจูŽุงุฏูŽุฉู ุงูŽู„ุชูŽู‘ูˆูŽู‚ูู‘ู


โ€œHukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil).โ€ Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). 


Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafiโ€™i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. 


Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,


ุฃูŽู†ูŽู‘ ุงู„ุชูŽู‘ู‚ู’ุฑููŠุฑ ูููŠ ุงู„ู’ุนูุจูŽุงุฏูŽุฉ ุฅูู†ูŽู‘ู…ูŽุง ูŠูุคู’ุฎูŽุฐ ุนูŽู†ู’ ุชูŽูˆู’ู‚ููŠู


โ€œPenetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)โ€ (Fathul Bari, 2: 80).


Ibnu Daqiq Al โ€˜Ied, salah seorang ulama besar Syafiโ€™i juga berkata,


ู„ูุฃูŽู†ูŽู‘ ุงู„ู’ุบูŽุงู„ูุจูŽ ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู’ุนูุจูŽุงุฏูŽุงุชู ุงู„ุชูŽู‘ุนูŽุจูู‘ุฏู ุŒ ูˆูŽู…ูŽุฃู’ุฎูŽุฐูู‡ูŽุง ุงู„ุชูŽู‘ูˆู’ู‚ููŠูู


โ€œUmumnya ibadah adalah taโ€™abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalilโ€. Kaedah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh โ€˜Umdatil Ahkam.


Dalam buku ulama Syafiโ€™iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan,


ุงู„ุฃุตู„ ููŠ ุงู„ุนุจุงุฏุงุช ุงู„ุชูˆู‚ูŠู


โ€œHukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil).โ€


Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syarโ€™iyah,


ุฃูŽู†ูŽู‘ ุงู„ู’ุฃูŽุนู’ู…ูŽุงู„ูŽ ุงู„ุฏูู‘ูŠู†ููŠูŽู‘ุฉูŽ ู„ูŽุง ูŠูŽุฌููˆุฒู ุฃูŽู†ู’ ูŠูุชูŽู‘ุฎูŽุฐูŽ ุดูŽูŠู’ุกูŒ ุณูŽุจูŽุจู‹ุง ุฅู„ูŽู‘ุง ุฃูŽู†ู’ ุชูŽูƒููˆู†ูŽ ู…ูŽุดู’ุฑููˆุนูŽุฉู‹ ููŽุฅูู†ูŽู‘ ุงู„ู’ุนูุจูŽุงุฏูŽุงุชู ู…ูŽุจู’ู†ูŽุงู‡ูŽุง ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ุชูŽู‘ูˆู’ู‚ููŠูู


โ€œSesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyariโ€™atkan karena standar ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil.โ€


Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafiโ€™i termasuk di dalamnya- berkata,


ุฅู†ูŽู‘ ุงู„ู’ุฃูŽุตู’ู„ูŽ ูููŠ ุงู„ู’ุนูุจูŽุงุฏูŽุงุชู ุงู„ุชูŽู‘ูˆู’ู‚ููŠูู


โ€œHukum asal ibadah adalah tauqif (menunggu sampai adanya dalil)โ€ (Dinukil dari Majmuโ€™ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17)


Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah untuk membedakan ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,


ุฅู†ูŽู‘ ุงู„ู’ุฃูŽุตู’ู„ูŽ ูููŠ ุงู„ู’ุนูุจูŽุงุฏูŽุงุชู ุงู„ุชูŽู‘ูˆู’ู‚ููŠูู ููŽู„ูŽุง ูŠูุดู’ุฑูŽุนู ู…ูู†ู’ู‡ูŽุง ุฅู„ูŽู‘ุง ู…ูŽุง ุดูŽุฑูŽุนูŽู‡ู ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ุชูŽุนูŽุงู„ูŽู‰ . ูˆูŽุฅูู„ูŽู‘ุง ุฏูŽุฎูŽู„ู’ู†ูŽุง ูููŠ ู…ูŽุนู’ู†ูŽู‰ ู‚ูŽูˆู’ู„ูู‡ู : { ุฃูŽู…ู’ ู„ูŽู‡ูู…ู’ ุดูุฑูŽูƒูŽุงุกู ุดูŽุฑูŽุนููˆุง ู„ูŽู‡ูู…ู’ ู…ูู†ูŽ ุงู„ุฏูู‘ูŠู†ู ู…ูŽุง ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุฃู’ุฐูŽู†ู’ ุจูู‡ู ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู } . ูˆูŽุงู„ู’ุนูŽุงุฏูŽุงุชู ุงู„ู’ุฃูŽุตู’ู„ู ูููŠู‡ูŽุง ุงู„ู’ุนูŽูู’ูˆู ููŽู„ูŽุง ูŠูŽุญู’ุธูุฑู ู…ูู†ู’ู‡ูŽุง ุฅู„ูŽู‘ุง ู…ูŽุง ุญูŽุฑูŽู‘ู…ูŽู‡ู ูˆูŽุฅูู„ูŽู‘ุง ุฏูŽุฎูŽู„ู’ู†ูŽุง ูููŠ ู…ูŽุนู’ู†ูŽู‰ ู‚ูŽูˆู’ู„ูู‡ู : { ู‚ูู„ู’ ุฃูŽุฑูŽุฃูŽูŠู’ุชูู…ู’ ู…ูŽุง ุฃูŽู†ู’ุฒูŽู„ูŽ ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ู„ูŽูƒูู…ู’ ู…ูู†ู’ ุฑูุฒู’ู‚ู ููŽุฌูŽุนูŽู„ู’ุชูู…ู’ ู…ูู†ู’ู‡ู ุญูŽุฑูŽุงู…ู‹ุง ูˆูŽุญูŽู„ูŽุงู„ู‹ุง } ูˆูŽู„ูู‡ูŽุฐูŽุง ุฐูŽู…ูŽู‘ ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ุงู„ู’ู…ูุดู’ุฑููƒููŠู†ูŽ ุงู„ูŽู‘ุฐููŠู†ูŽ ุดูŽุฑูŽุนููˆุง ู…ูู†ู’ ุงู„ุฏูู‘ูŠู†ู ู…ูŽุง ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุฃู’ุฐูŽู†ู’ ุจูู‡ู ุงู„ู„ูŽู‘ู‡ู ูˆูŽุญูŽุฑูŽู‘ู…ููˆุง ู…ูŽุง ู„ูŽู…ู’ ูŠูุญูŽุฑูู‘ู…ู’ู‡ู


โ€œHukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), โ€œApakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?โ€ (QS. Asy Syura: 21). 


Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. 


Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), โ€œKatakanlah: โ€œTerangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halalโ€ (QS. Yunus: 59). 


Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syariโ€™at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmuโ€™ Al Fatawa, 29: 17).


โฌ›๏ธโฌ›๏ธ Contoh Penerapan Kaedah


โ€“ Beribadah dengan tepuk tangan dan musik dalam rangka taqorrub pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufi.


โ€“ Perayaan tahun baru Islam dan Maulid Nabi.


โ€“ Shalat tasbih karena didukung oleh hadits dhoโ€™if[1].


Demikian contoh-contoh yang disampaikan oleh guru kami, Syaikh Saโ€™ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah dalam Syarh Al Manzhumah As Saโ€™diyah, hal. 91.


โฌ›๏ธโฌ›๏ธ Tambahan Bidโ€™ah dalam Ibadah


Kadang amalan tanpa tuntunan (alias: bidโ€™ah) adalah hanya sekedar tambahan dari ibadah yang asli. 


Apakah tambahan ini membatalkan amalan yang asli?


Di sini ada dua rincian:


1- Jika tambahan tersebut bersambung (muttashilah) dengan ibadah yang asli, ketika ini, ibadah asli ikut rusak.


Contoh: Jika seseorang melakukan shalat Zhuhur lima rakaโ€™at (dengan sengaja), maka keseluruhan shalatnya batal. Dalam kondisi ini, tambahan rakaโ€™at tadi bersambung dengan rakaโ€™at yang asli (yaitu empat rakaโ€™at).


2- Jika tambahan tersembut terpisah (munfashilah). Maka ketika itu, ibadah asli tidak rusak (batal).


Contoh: Jika seseorang berwudhuโ€™ dan mengusap anggota wudhunya (dengan sengaja) sebanyak empat kali-empat kali. Kali keempat di situ dihukumi bidโ€™ah namun tidak merusak usapan tiga kali sebelumnya.


Alasannya, karena usapan pertama sampai ketiga dituntunkan sedangkan keempat itu tambahan (tidak ada asalnya), sehingga dianggap terpisah.


Lihat keterangan akan hal ini dalam Syarh Al Manzhumah As Saโ€™diyah fil Qowaโ€™idil Fiqhiyyah, hal. 92 oleh guru kami, Syaikh Saโ€™ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah.


โฌ›๏ธโฌ›๏ธ Tidak Tepat!


Tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah ibadah, ada yang berujar, โ€œKan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot โ€ฆโ€. 


Maka cukup kami sanggah bahwa hadits โ€˜Aisyah sudah sebagai dalil yang melarang untuk membuat ibadah tanpa tuntunan,


ู…ูŽู†ู’ ุนูŽู…ูู„ูŽ ุนูŽู…ูŽู„ุงู‹ ู„ูŽูŠู’ุณูŽ ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ุฃูŽู…ู’ุฑูู†ูŽุง ููŽู‡ููˆูŽ ุฑูŽุฏูŒู‘


โ€œBarangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.โ€ (HR. Muslim no. 1718).  


Hadits ini sudah jelas menunjukkan bahwa kita harus berhenti sampai ada dalil, baru kita boleh melaksanakan suatu ibadah. 


Jika ada yang membuat suatu ibadah tanpa dalil, maka kita bisa larang dengan hadits ini dan itu sudah cukup tanpa mesti menunggu dalil khusus. 


Karena perkataan Nabi shallallahu โ€˜alaihi wa sallam itu jaamiโ€™ul kalim, maksudnya adalah singkat namun syarat makna. Jadi dengan kalimat pendek saja sudah bisa menolak berbagai amalan tanpa tuntunan, tanpa mesti dirinci satu per satu.


Murid Imam Nawawi, Ibnu โ€˜Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits di atas, โ€œPara ulama menganggap perbuatan bidโ€™ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. 


Pelaku bidโ€™ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bidโ€™ah itu mencacati ibadah.โ€ (Lihat Syarh Al Arbaโ€™in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan โ€˜Mukhtashor An Nawawiโ€™, hal. 72)


Sehingga bagi yang melakukan amalan tanpa tuntunan, malah kita tanya, โ€œMana dalil yang memerintahkan untuk melakukan ibadah tersebut?โ€ 


Jangan dibalik tanya, โ€œMana dalil yang mengharamkan?โ€ Jika ia bertanya seperti pertanyaan kedua, ini jelas tidak paham kaedah yang digariskan oleh Al Qurโ€™an dan As Sunnah, juga tidak paham perkataan ulama.


Kaedah yang kita kaji saat ini menunjukkan bagaimana Islam betul-betul menjaga syariโ€™at, tidak dirusak oleh kejahilan dan kebidโ€™ahan.


Hanya Allah yang memberikan petunjuk ke jalan penuh hidayah.


โ€”


Suatu ketika, Saโ€™id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 rakaโ€™at setelah terbitnya fajar. 


Orang tersebut memperbanyak rukuโ€™ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. 


Orang tersebut pun berkata, โ€œHai Abu Muhammad (panggilan Saโ€™id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?โ€ 


Beliau menjawab, โ€œTidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!โ€

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar