Rabu, 05 Januari 2022

Tata Cara Shalat Gerhana Bulan dalam Empat Madhzab

 Assalamu ‘alaikum wr. wb. 


Pembaca yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagaimana diketahui bahwa gerhana matahari dan gerhana bulan merupakan fenomena alam yang menjadi tanda kebesaran Allah SWT. Dalam pada itu Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk shalat dua rakaat dengan dua Surat Al-Fatihah dan dua rukuk pada setiap rakaat dan disusul dengan dua khutbah. 

Untuk shalat gerhana matahari, ulama menyepakati hal ini sebagai tata caranya karena memang Rasulullah SAW mencontohkan demikian. Sampai di sini tidak ada masalah.

Adapun terkait cara shalat gerhana bulan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menganalogikan cara shalat gerhana bulan dengan cara shalat gerhana matahari. Sementara ulama lain menyatakan bahwa cara shalat gerhana bulan sama saja dengan cara shalat sunah lainnya, cukup dikerjakan sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram sebagai berikut:


أما خسوف القمر فقالت الشافعية والحنابلة هي ركعتان في كل ركعة؛ ركوعان كصلاة كسوف الشمس في جماعة. وقالت الحنفية صلاة الخسوف ركعتان بركوع واحد كبقية النوافل وتصلى فرادى، لأنه خسف القمر مرارا في عهد الرسول ولم ينقل أنه جمع الناس لها فيتضرع كل وحده، وقالت المالكية: ندب لخسوف القمر ركعتان جهرا بقيام وركوع واحد كالنوافل فرادى في المنازل وتكرر الصلاة حتى ينجلي القمر أو يغيب أو يطلع الفجر وكره إيقاعها في المساجد جماعة وفرادى. Artinya, “Shalat gerhana bulan, bagi kalangan syafiiyah dan hanbaliyah, adalah dua rakaat dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya persis seperti mengamalkan shalat gerhana matahari secara berjamaah. Kalangan Hanafi mengatakan, shalat gerhana bulan itu berjumlah dua rakaat dengan satu rukuk pada setiap rakaatnya sebagai shalat sunah lain pada lazimnya, dan dikerjakan secara sendiri-sendiri. Pasalnya, gerhana bulan terjadi berkali-kali di masa Rasulullah SAW tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasul mengumpulkan orang banyak, tetapi beribadah sendiri. Kalangan Maliki menganjurkan shalat sunah dua rakaat karena fenomena gerhana bulan dengan bacaan jahar (lantang) dengan sekali rukuk pada setiap kali rakaat seperti shalat sunah pada lazimnya, dikerjakan sendiri-sendiri di rumah. Shalat itu dilakukan secara berulang-ulang sampai gerhana bulan selesai, lenyap, atau terbit fajar. Kalangan Maliki menyatakan makruh shalat gerhana bulan di masjid baik berjamaah maupun secara sendiri-sendiri,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Beirut, Darul Fikr, cetakan pertama, 1996 M/1416 H, juz I, halaman 114). Keterangan ini cukup jelas memilah pendapat para ulama. Madzhab Syafii berpendapat bahwa shalat gerhana bulan dilakukan secara berjamaah di masjid sebagaimana shalat gerhana matahari. Pendapat ini juga dipakai oleh Ahmad bin Hanbal, Dawud Az-Zhahiri, dan sejumlah ulama. Sedangkan Imam Malik dan Imam Hanafi berpendapat sebaliknya. Bagi keduanya, shalat gerhana bulan tidak dilakukan secara berjamaah, tetapi dilakukan secara sendiri-sendiri sebanyak dua rakaat seperti dua rakaat shalat sunah lainnya. Ibnu Rusyd mencoba memetakan sebab perbedaan di kalangan ulama perihal tata cara shalat sunah gerhana bulan. Dalam Bidayatul Mujtahid, ia memperlihatkan pendekatan yang dilakukan masing-masing ulama sebagai berikut ini: سبب اختلافهم اختلافهم في مفهوم قوله عليه الصلاة والسلام: "إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته فإذا رأيتموهما فادعوا الله وصلوا حتى يكشف ما بكم وتصدقوا" خرجه البخاري ومسلم. فمن فهم ههنا من الأمر بالصلاة فيهما معنى واحدا وهي الصفة التي فعلها في كسوف الشمس رأى الصلاة فيها في جماعة. ومن فهم من ذلك معنى مختلفا لأنه لم يرو عنه عليه الصلاة والسلام أنه صلى في كسوف القمر مع كثرة دورانه قال المفهوم من ذلك أقل ما ينطلق عليه اسم صلاة في الشرع وهي النافلة فذا وكأن قائل هذا القول يرى أن الأصل هو أن يحمل اسم الصلاة في الشرع إذا ورد الأمر بها على أقل ما ينطلق عليه هذا الاسم في الشرع إلا أن يدل الدليل على غير ذلك فلما دل فعله عليه الصلاة والسلام في كسوف الشمس على غير ذلك بقي المفهوم في كسوف القمر على أصله والشافعي يحمل فعله في كسوف الشمس بيانا لمجمل ما أمر به من الصلاة فيهما فوجب الوقوف عند ذلك. وزعم أبو عمر بن عبد البر أنه روي عن ابن عباس وعثمان أنهما صليا في القمر في جماعة ركعتين في كل ركعة ركوعان مثل قول الشافعي Artinya, “Sebab perbedaan itu terletak pada perbedaan pandangan mereka dalam memahami hadits Rasulullah SAW, ‘Matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Kalau salah seorang kalian melihat keduanya, sebutlah nama Allah dan shalatlah sampai Allah membuka gerhana itu, dan bersedekahlah,’ HR Bukhari. Ulama yang memahami di sini sebagai perintah shalat pada kedua gerhana dengan sebuah pengertian yaitu sifat shalat yang telah dikerjakan Rasulullah SAW ada saat gerhana matahari, memandang bahwa shalat pada gerhana matahari dilakukan secara berjamaah.” Sedangkan ulama yang memahami hadits ini dengan sebuah pengertian berbeda, sementara belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana bulan padahal fenomena itu terjadi berkali-kali sema beliau hidup, berpendapat bahwa pengertian yang dapat ditarik dari teks hadits ini adalah sekurang-kurang sebutan shalat dalam syara’, yaitu shalat sunah sendiri. Ulama ini seakan memandang bahwa pada asalnya kata ‘shalat’ di dalam syarak bila datang perintah padanya harus dipahami dengan konsep paling minimal yang mengandung sebutan itu dalam syariat kecuali ada dalil lain yang menunjukkan hal yang berlainan. Ketika sikap Nabi SAW menghadapi gerhana matahari berbeda dengan itu, maka konsep terkait gerhana bulan tetap dipahami sebagai aslinya. Sedangkan Imam Syafi’i memahami sikap Nabi SAW dalam melewati gerhana matahari sebagai penjelasan atas keijmalan perintah shalat oleh Rasulullah pada kedua gerhana tersebut sehingga konsep atas amaliah gerhana bulan harus berhenti di situ. Sementara Abu Amr bin Abdil Bar meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Utsman RA bahwa keduanya melaksanakan shalat dua rakaat secara berjamaah saat gerhana bulan dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya seperti pendapat Imam As-Syafi’i,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013 M/1434 H, cetakan kelima, halaman 199). Perbedaan pendapat ini berimbas pada bacaan di dalam shalat itu sendiri. Tetapi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat perihal cara pelaksanaan shalat gerhana bulan. Kita sebaiknya tidak perlu memaksakan pendapat ulama manapun kepada orang lain. Tetapi sebaiknya kita saling menghargai hasil ijtihad para ulama dan menghargai pandangan orang lain sesuai madzhab mereka. Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb.

0 komentar:

Posting Komentar