This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 05 Januari 2022

sholat jamaah berdua dengan wanita yang bukan mahram

 ⬛️🟦 Shalat Jamaah Berdua dengan Wanita yang Bukan Mahram


Bolehkah shalat berdua dg wanita teman kampus di musolah jurusan?. Krn pas waktu shalat, ada teman akhwat yang mengajak jamaah.


✅ Jawab:


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,


Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ


”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan, kecuali dia ditemani mahramnya.” (HR. Bukhari 5233 dan Muslim 1341).


Kemudian dari Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ


”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi makhluk ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad 177, Turmudzi 2165, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).


Abu Ishaq as-Syaerozi – ulama syafiiyah – (w. 476 H.) menyatakan,


ويكره أن يصلي الرجل بامرأة أجنبية ; لما روي أن النبي قال : لا يخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان


Makruh (tahrim) seorang laki-laki shalat mengimami seorang wanita yang bukan mahram. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, ”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi makhluk ketiganya adalah setan.” (al-Muhadzab, 1/183).


Penjelasan an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab,


المراد بالكراهة كراهة تحريم هذا إذا خلا بها: قال أصحابنا إذا أم الرجل بامرأته أو محرم له وخلا بها جاز بلا كراهة لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة وإن أم بأجنبية وخلا بها حرم ذلك عليه وعليها للأحاديث الصحيحة


Yang dimaksud makruh dari keterangan beliau adalah makruh tahrim (artinya: haram). Ini jika lelaki itu berduaan dengan seorang perempuan. Para ulama madzhab Syafii mengatakan, apabila seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan berduaan dengannya, hukumnya boleh dan tidak makruh. Karena boleh berduaan dengan istri atau mahram di luar shalat. Namun jika dia mengimami wanita yang bukan mahram dan berduaan dengannya, hukumnya haram bagi lelaki itu dan haram pula bagi si wanita. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 4/277).


Bahkan an-Nawawi juga menyebutkan keterangan dari Imam as-Syafii, bahwa beliau mengharamkan seorang laki-laki sendirian, mengimami jamaah wanita, sementara di antara jamaah itu, tidak ada seorangpun lelaki. Kata an-Nawawi,


ونقل إمام الحرمين وصاحب العدة.. أن الشافعي نص على أنه يحرم أن يصلي الرجل بنساء منفردات إلا أن يكون فيهن محرم له أو زوجة وقطع بانه يحرم خلوة رجل بنسوة إلا أن يكون له فيهن محرم


Imamul Haramain dan penulis kitab al-Uddah.., bahwa Imam as-Syafii menegaskan, haramnya seorang laki-laki mengimami jamaah beberapa wanita tanpa lelaki yang lain. Kecuali jika ada diantara jamaah wanita itu yang menjadi mahram si imam atau istrinya. Beliau juga menegaskan, bahwa terlarang seorang lelaki berada sendirian di tengah para wanita, kecuali jika di antara mereka ada wanita mahram lelaki itu. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 4/278).


⬛️ Mengapa Diharamkan?


Sekalipun dalam kondisi ibadah, kita diperintahkan untuk menghindari segala bentuk fitnah. Tak terkecuali fitnah syahwat.


Dalam Syarh Zadul Mustaqni’, Syaikh as-Syinqithy menjelaskan,


وإذا خلا بأجنبية فإنه منهي عن هذه الخلوة لقوله عليه الصلاة والسلام: ما خلا رجلٌ بامرأة إلا كان الشيطان ثالثهما، وقال: (ألا لا يخلون رجلٌ بامرأة) فهذا نهي، قالوا: وبناءً على ذلك لا يصلي الرجل الأجنبي بالمرأة الأجنبية على خلوة؛ لأنه قد يخرج عن مقصود الصلاة إلى الفتنة


Apabila seseorang berdua-duaan dengan seorang wanita yang bukan mahram, hukumnya terlarang. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Jika seorang lelaki berduaan dengan wanita, maka setan yang ketiganya.’ Beliau juga bersabda, ’Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita.’ Ini larangan. Para ulama mengatakan, berdasarkan hal ini, tidak boleh seorang lelaki mengimami shalat dengan wanita yang bukan mahram, secara berdua-duaan. Karena bisa jadi keluar dari tujuan utama yaitu shalat, menjadi sumber fitnah syahwat. (Syarh Zadul Mustaqni’, 3/149).


Hal yang sama juga disampaikan Imam Ibnu Utsaimin,


إذا خَلا بها فإنَّه يحرُمُ عليه أن يَؤمَّها ؛ لأنَّ ما أفضى إلى المُحَرَّمِ فهو محرَّمٌ


Apabila seorang lelaki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, maka haram baginya untuk menjadi imam bagi wanita itu. Karena segala yang bisa mengantarkan kepada yang haram, hukumnya haram. (as-Syarh al-Mumthi’, 4/251).


⬛️ Kesimpulan:


▶️ Landasan Imam as-Syafii menilai haram model jamaah semacam ini adalah hadis larangan berdua-dua-an dengan wanita yang BUKAN MAHRAM.


▶️ Yang dihukumi haram adalah kondisi berdua-duaan, yang itu terlarang secara syariat. Jika terjadi jamaah 2 orang lelaki dan perempuan, namun tidak berdua-an, karena di sekitarnya ada beberapa orang yang juga berada di masjid, tidak masalah.


▶️ Jika seseorang hendak berjamaah dengan wanita, dia bisa kondisikan, jangan sampai terjadi seperti yang disebutkan dalam artikel. Jika tidak memungkinkan, maka bisa shalat bergantian.


Mengingatkan kesalahan yang dilakukan masyarakat, bagian dari amar makruf nahi munkar. Selama ada landasannya, itu dibenarkan, sekalipun orang bodoh menolaknya


Allahu a’lam.


Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits

syarat qasar sholat



Bismillahirrahmanirrahim. 


Seorang musafir boleh mengqashar shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at asalkan memenuhi empat syarat berikut:


▶️ 1- Niat untuk bersafar


Yang mengqashar shalat dipersyaratkan berniat safar. Ini syarat dari seluruh fuqoha.


Namun ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali menyaratkan safar yang boleh shalatnya diqashar adalah safar yang bukan maksiat. Yang ingin bermaksiat saat safar, tak boleh mengqashar shalat seperti perampok jalanan. Karena keringanan tidak bisa diperoleh oleh pelaku maksiat. 


Jika keringanan itu dibolehkan pada safar maksiat, itu sama saja mendukung maksiat.


Ketika awal safar berniat maksiat, lalu di tengah-tengah mengurungkannya dan bertaubat, maka boleh mengqashar shalat dari safar yang tersisa selama safar tersebut sudah memenuhi jaraknya.


▶️ 2- Sudah mencapai jarak safar


Seseorang baru boleh mengqashar shalat jika sudah mencapai jarak yang ditentukan oleh para fuqaha sebagai jarak disebut telah bersafar. Jika telah memenuhi jarak tersebut barulah disebut sebagai musafir.


Berapakah jarak itu?


Para ulama berselisih pendapat mengenai batasan jarak sehingga disebut safar sehingga boleh mengqashar shalat. 


Ada tiga pendapat dalam hal ini:


a- Jarak disebut safar jika telah mencapai 48 mil atau 85 km. Ini pendapat kebanyakan ulama.


b- Disebut safar jika telah melakukan perjalanan dengan berjalan selama tiga hari tiga malam.


c- Tidak ada batasan untuk jarak safar, selama sudah disebut safar, maka sudah boleh mengqashar shalat.


Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan madzhab Zhahiri.


Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan untuk jarak safar, tidak juga memberikan batasan waktu atau pun tempat. Berbagai pendapat yang diutarakan dalam masalah ini saling kontradiksi. 


Dalil yang menyebutkan adanya batasan tidak bisa dijadikan alasan karena saling kontradiksi.


Untuk menentukan batasan disebut safar amatlah sulit karena bumi sendiri sulit untuk diukur dengan ukuran jarak tertentu dalam mayoritas safar. 


Pergerakan musafir pun berbeda-beda. Hendaklah kita tetap membawa makna mutlak sebagaimana disebutkan oleh syari’at. 


Begitu pula jika syari’at mengaitkan dengan sesuatu, kita juga harus menetapkan demikian pula.


Initnya, setiap musafir boleh mengqashar shalat di setiap keadaan yang disebut safar. 


Begitu pula tetap berlaku berbagai hukum safar seperti mengqashar shalat, shalat di atas kendaraan dan mengusap khuf.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 12-13).


⬛️ Kesimpulan:


Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat ketiga. 


Selama suatu perjalanan disebut safar baik menempuh jarak dekat maupun jauh, maka boleh mengqashar shalat. 


Kalau mau disebut safar, maka ia akan berkata, “saya akan safar”, bukan sekedar berkata, “saya akan pergi”. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 481).


Kalau sulit untuk menentukan itu safar ataukah tidak, maka pendapat jumhur (mayoritas ulama) bisa digunakan yaitu memakai jarak 85 km. 


Berarti jika telah menempuh jarak 85 km dari akhir bangunan di kotanya, maka sudah disebut safar. Wallahu a’lam. 


▶️ 3- Sudah keluar dari bangunan terakhir dari negerinya.


Qashar shalat baru bisa dilakukan jika seseorang keluar dari tempat ia bermukim. Jika ia keluar dari rumah terakhir dari kotanya, ketika itu barulah shalat bisa diqashar menjadi dua raka’at.


Dalilnya,


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ


“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690).


▶️ 4- Disyaratkan niat qashar untuk setiap shalat.


Disyaratkan untuk mengqashar shalat, sudah ada niat sejak takbiratul ihram untuk setiap shalat.


Semoga bermanfaat bagi para musafir.


ustad muhammad abduh tuasikal.

Tata Cara Shalat Gerhana Bulan dalam Empat Madhzab

 Assalamu ‘alaikum wr. wb. 


Pembaca yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagaimana diketahui bahwa gerhana matahari dan gerhana bulan merupakan fenomena alam yang menjadi tanda kebesaran Allah SWT. Dalam pada itu Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk shalat dua rakaat dengan dua Surat Al-Fatihah dan dua rukuk pada setiap rakaat dan disusul dengan dua khutbah. 

Untuk shalat gerhana matahari, ulama menyepakati hal ini sebagai tata caranya karena memang Rasulullah SAW mencontohkan demikian. Sampai di sini tidak ada masalah.

Adapun terkait cara shalat gerhana bulan, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menganalogikan cara shalat gerhana bulan dengan cara shalat gerhana matahari. Sementara ulama lain menyatakan bahwa cara shalat gerhana bulan sama saja dengan cara shalat sunah lainnya, cukup dikerjakan sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram sebagai berikut:


أما خسوف القمر فقالت الشافعية والحنابلة هي ركعتان في كل ركعة؛ ركوعان كصلاة كسوف الشمس في جماعة. وقالت الحنفية صلاة الخسوف ركعتان بركوع واحد كبقية النوافل وتصلى فرادى، لأنه خسف القمر مرارا في عهد الرسول ولم ينقل أنه جمع الناس لها فيتضرع كل وحده، وقالت المالكية: ندب لخسوف القمر ركعتان جهرا بقيام وركوع واحد كالنوافل فرادى في المنازل وتكرر الصلاة حتى ينجلي القمر أو يغيب أو يطلع الفجر وكره إيقاعها في المساجد جماعة وفرادى. Artinya, “Shalat gerhana bulan, bagi kalangan syafiiyah dan hanbaliyah, adalah dua rakaat dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya persis seperti mengamalkan shalat gerhana matahari secara berjamaah. Kalangan Hanafi mengatakan, shalat gerhana bulan itu berjumlah dua rakaat dengan satu rukuk pada setiap rakaatnya sebagai shalat sunah lain pada lazimnya, dan dikerjakan secara sendiri-sendiri. Pasalnya, gerhana bulan terjadi berkali-kali di masa Rasulullah SAW tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasul mengumpulkan orang banyak, tetapi beribadah sendiri. Kalangan Maliki menganjurkan shalat sunah dua rakaat karena fenomena gerhana bulan dengan bacaan jahar (lantang) dengan sekali rukuk pada setiap kali rakaat seperti shalat sunah pada lazimnya, dikerjakan sendiri-sendiri di rumah. Shalat itu dilakukan secara berulang-ulang sampai gerhana bulan selesai, lenyap, atau terbit fajar. Kalangan Maliki menyatakan makruh shalat gerhana bulan di masjid baik berjamaah maupun secara sendiri-sendiri,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Beirut, Darul Fikr, cetakan pertama, 1996 M/1416 H, juz I, halaman 114). Keterangan ini cukup jelas memilah pendapat para ulama. Madzhab Syafii berpendapat bahwa shalat gerhana bulan dilakukan secara berjamaah di masjid sebagaimana shalat gerhana matahari. Pendapat ini juga dipakai oleh Ahmad bin Hanbal, Dawud Az-Zhahiri, dan sejumlah ulama. Sedangkan Imam Malik dan Imam Hanafi berpendapat sebaliknya. Bagi keduanya, shalat gerhana bulan tidak dilakukan secara berjamaah, tetapi dilakukan secara sendiri-sendiri sebanyak dua rakaat seperti dua rakaat shalat sunah lainnya. Ibnu Rusyd mencoba memetakan sebab perbedaan di kalangan ulama perihal tata cara shalat sunah gerhana bulan. Dalam Bidayatul Mujtahid, ia memperlihatkan pendekatan yang dilakukan masing-masing ulama sebagai berikut ini: سبب اختلافهم اختلافهم في مفهوم قوله عليه الصلاة والسلام: "إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته فإذا رأيتموهما فادعوا الله وصلوا حتى يكشف ما بكم وتصدقوا" خرجه البخاري ومسلم. فمن فهم ههنا من الأمر بالصلاة فيهما معنى واحدا وهي الصفة التي فعلها في كسوف الشمس رأى الصلاة فيها في جماعة. ومن فهم من ذلك معنى مختلفا لأنه لم يرو عنه عليه الصلاة والسلام أنه صلى في كسوف القمر مع كثرة دورانه قال المفهوم من ذلك أقل ما ينطلق عليه اسم صلاة في الشرع وهي النافلة فذا وكأن قائل هذا القول يرى أن الأصل هو أن يحمل اسم الصلاة في الشرع إذا ورد الأمر بها على أقل ما ينطلق عليه هذا الاسم في الشرع إلا أن يدل الدليل على غير ذلك فلما دل فعله عليه الصلاة والسلام في كسوف الشمس على غير ذلك بقي المفهوم في كسوف القمر على أصله والشافعي يحمل فعله في كسوف الشمس بيانا لمجمل ما أمر به من الصلاة فيهما فوجب الوقوف عند ذلك. وزعم أبو عمر بن عبد البر أنه روي عن ابن عباس وعثمان أنهما صليا في القمر في جماعة ركعتين في كل ركعة ركوعان مثل قول الشافعي Artinya, “Sebab perbedaan itu terletak pada perbedaan pandangan mereka dalam memahami hadits Rasulullah SAW, ‘Matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Kalau salah seorang kalian melihat keduanya, sebutlah nama Allah dan shalatlah sampai Allah membuka gerhana itu, dan bersedekahlah,’ HR Bukhari. Ulama yang memahami di sini sebagai perintah shalat pada kedua gerhana dengan sebuah pengertian yaitu sifat shalat yang telah dikerjakan Rasulullah SAW ada saat gerhana matahari, memandang bahwa shalat pada gerhana matahari dilakukan secara berjamaah.” Sedangkan ulama yang memahami hadits ini dengan sebuah pengertian berbeda, sementara belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana bulan padahal fenomena itu terjadi berkali-kali sema beliau hidup, berpendapat bahwa pengertian yang dapat ditarik dari teks hadits ini adalah sekurang-kurang sebutan shalat dalam syara’, yaitu shalat sunah sendiri. Ulama ini seakan memandang bahwa pada asalnya kata ‘shalat’ di dalam syarak bila datang perintah padanya harus dipahami dengan konsep paling minimal yang mengandung sebutan itu dalam syariat kecuali ada dalil lain yang menunjukkan hal yang berlainan. Ketika sikap Nabi SAW menghadapi gerhana matahari berbeda dengan itu, maka konsep terkait gerhana bulan tetap dipahami sebagai aslinya. Sedangkan Imam Syafi’i memahami sikap Nabi SAW dalam melewati gerhana matahari sebagai penjelasan atas keijmalan perintah shalat oleh Rasulullah pada kedua gerhana tersebut sehingga konsep atas amaliah gerhana bulan harus berhenti di situ. Sementara Abu Amr bin Abdil Bar meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Utsman RA bahwa keduanya melaksanakan shalat dua rakaat secara berjamaah saat gerhana bulan dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya seperti pendapat Imam As-Syafi’i,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013 M/1434 H, cetakan kelima, halaman 199). Perbedaan pendapat ini berimbas pada bacaan di dalam shalat itu sendiri. Tetapi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat perihal cara pelaksanaan shalat gerhana bulan. Kita sebaiknya tidak perlu memaksakan pendapat ulama manapun kepada orang lain. Tetapi sebaiknya kita saling menghargai hasil ijtihad para ulama dan menghargai pandangan orang lain sesuai madzhab mereka. Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb.

dzikir yang dibaca di waktu petang

 🟩🟩 Dzikir yang Dibaca di Waktu Petang



Dzikir petang berikut patut diamalkan karena akan membuat kita lebih semangat di petang hari dan dimudahkan Allah dalam segala urusan serta dihindarkan dari berbagai bahaya.


Untuk waktunya, menurut pendapat yang paling tepat adalah dari tenggelam matahari atau waktu Maghrib hingga pertengahan malam. Pertengahan malam dihitung dari waktu Maghrib hingga Shubuh, taruhlah sekitar 10 jam, sehingga pertengahan malam sekitar jam 11 malam.


Adapun dzikir yang kali ini kami publish adalah revisi dari yang ada sebelumnya setelah menyaring dzikir yang menurut kami lemah (dho’if) berdasarkan penilaian para ulama.


Juga dalam dzikir petang kali ini, kami sertakan dengan faedah dari setiap dzikir berdasarkan hadits yang menyebutkan dzikir tersebut sehingga dengan itu bisa merenung maksud dzikir dan raih manfaatnya.


Dzikir kali ini pun kami bantu dengan transliterasi untuk setiap bacaan selain bacaan Al Qur’an, moga bermanfaat bagi yang sulit membaca dzikir yang ada huruf demi huruf.


Diingatkan pula ada bacaan dzikir yang mirip dengan . Namun ada yang hanya khusus dibaca pagi saja, ada pula yang petang saja.


(Dari tenggelam matahari atau waktu Maghrib hingga pertengahan malam)


أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ


“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”


[1]


Membaca ayat Kursi


اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ


“Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Baqarah: 255) (Dibaca 1 x)


Faedah: Siapa yang membacanya ketika petang, maka ia akan dilindungi (oleh Allah dari berbagai gangguan) hingga pagi. Siapa yang membacanya ketika pagi, maka ia akan dilindungi hingga petang.[1]


[2]


Membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ


“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4) (Dibaca 3 x)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ  وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ


“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai Shubuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. (QS. Al Falaq: 1-5) (Dibaca 3 x)


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ


“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia.” (QS. An Naas: 1-6) (Dibaca 3 x)


Faedah: Siapa yang mengucapkannya masing-masing tiga kali ketika pagi dan petang, maka segala sesuatu akan dicukupkan untuknya.[2]


[3]


أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ للهِ، وَالْحَمْدُ للهِ، لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ


Amsaynaa wa amsal mulku lillah walhamdulillah, laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir. Robbi as-aluka khoiro maa fii hadzihil lailah wa khoiro maa ba’dahaa, wa a’udzu bika min syarri maa fii hadzihil lailah wa syarri maa ba’dahaa. Robbi a’udzu bika minal kasali wa suu-il kibar. Robbi a’udzu bika min ‘adzabin fin naari wa ‘adzabin fil qobri.


Artinya:


“Kami telah memasuki waktu petang dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik Allah kerajaan dan bagi-Nya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.Wahai Rabbku, aku mohon kepada-Mu kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan malam ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Rabbku, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan siksaan di kubur.” (Dibaca 1 x)


Faedah: Meminta pada Allah kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya, juga agar terhindar dari kejelekan di malam ini dan kejelekan sesudahnya. Di dalamnya berisi pula permintaan agar terhindar dari rasa malas padahal mampu untuk beramal, juga agar terhindar dari kejelekan di masa tua. Di dalamnya juga berisi permintaan agar terselamatkan dari siksa kubur dan siksa neraka yang merupakan siksa terberat di hari kiamat kelak.[3]


[4]


اللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ أَصْبَحْنَا،وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوتُ، وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ


Allahumma bika amsaynaa wa bika ash-bahnaa wa bika nahyaa wa bika namuutu wa ilaikal mashiir.


Artinya:


“Ya Allah, dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu petang, dan dengan rahmat dan pertolongan-Mu kami memasuki waktu pagi. Dengan rahmat dan pertolonganMu kami hidup dan dengan kehendakMu kami mati. Dan kepada-Mu tempat kembali (bagi semua makhluk).” (Dibaca 1 x) [4]


[5]


Membaca Sayyidul Istighfar


اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ


Allahumma anta robbii laa ilaha illa anta, kholaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mas-tatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu. Abu-u laka bi ni’matika ‘alayya wa abu-u bi dzambii. Fagh-firlii fainnahu laa yagh-firudz dzunuuba illa anta.


Artinya:


“Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku pada-Mu (yaitu aku akan mentauhidkan-Mu) semampuku dan aku yakin akan janji-Mu (berupa surga untukku). Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” (Dibaca 1 x)


Faedah: Barangsiapa mengucapkan dzikir ini di siang hari dalam keadaan penuh keyakinan, lalu ia mati pada hari tersebut sebelum petang hari, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa yang mengucapkannya di malam hari dalam keadaan penuh keyakinan, lalu ia mati sebelum pagi, maka ia termasuk penghuni surga.[5]


[6]


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَمْسَيْتُ أُشْهِدُكَ وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلاَئِكَتَكَ وَجَمِيْعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ


Allahumma inni amsaytu usy-hiduka wa usy-hidu hamalata ‘arsyika wa malaa-ikatak wa jami’a kholqik, annaka antallahu laa ilaha illa anta wahdaka laa syariika lak, wa anna Muhammadan ‘abduka wa rosuuluk.


Artinya:


“Ya Allah, sesungguhnya aku di waktu petang ini mempersaksikan Engkau, malaikat yang memikul ‘Arys-Mu, malaikat-malaikat dan seluruh makhluk-Mu, bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah, tiada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau semata, tiada sekutu bagi-Mu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.” (Dibaca 4 x)


Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan dzikir ini ketika pagi dan petang hari sebanyak empat kali, maka Allah akan membebaskan dirinya dari siksa neraka.[6]


[7]


اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ


Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyah fid dunyaa wal aakhiroh. Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyah fii diinii wa dun-yaaya wa ahlii wa maalii. Allahumas-tur ‘awrootii wa aamin row’aatii. Allahummahfazh-nii mim bayni yadayya wa min kholfii wa ‘an yamiinii wa ‘an syimaalii wa min fawqii wa a’udzu bi ‘azhomatik an ugh-taala min tahtii.


Artinya:


“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari muka, belakang, kanan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ular atau tenggelam dalam bumi dan lain-lain yang membuat aku jatuh).” (Dibaca 1 x)


Faedah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah meninggalkan do’a ini di pagi dan petang hari. Di dalamnya berisi perlindungan dan keselamatan pada agama, dunia, keluarga dan harta dari berbagai macam gangguan yang datang dari berbagai arah.[7]


[8]


اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرَّهُ إِلَى مُسْلِمٍ


Allahumma ‘aalimal ghoybi wasy-syahaadah faathiros samaawaati wal ardh. Robba kulli syai-in wa maliikah. Asyhadu alla ilaha illa anta. A’udzu bika min syarri nafsii wa min syarrisy-syaythooni wa syirkihi, wa an aqtarifa ‘alaa nafsii suu-an aw ajurrohu ilaa muslim.


Artinya:


“Ya Allah, Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Rabb pencipta langit dan bumi, Rabb segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku, setan dan balatentaranya (godaan untuk berbuat syirik pada Allah), dan aku (berlindung kepada-Mu) dari berbuat kejelekan terhadap diriku atau menyeretnya kepada seorang muslim.” (Dibaca 1 x)


Faedah: Do’a ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Bakr Ash Shiddiq untuk dibaca pada pagi, petang dan saat beranjak tidur.[8]


[9]


بِسْمِ اللَّهِ الَّذِى لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَىْءٌ فِى الأَرْضِ وَلاَ فِى السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ


Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.


Artinya:


“Dengan nama Allah yang bila disebut, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dibaca 3 x)


Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan dzikir tersebut sebanyak tiga kali di pagi hari dan tiga kali di petang hari, maka tidak akan ada bahaya yang tiba-tiba yang memudaratkannya.[9]


[10]


رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا


Rodhiitu billaahi robbaa wa bil-islaami diinaa, wa bi-muhammadin shallallaahu ‘alaihi wa sallama nabiyyaa.


Artinya:


“Aku ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi.” (Dibaca 3 x)


Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan hadits ini sebanyak tiga kali di pagi hari dan tiga kali di petang hari, maka pantas baginya mendapatkan ridha Allah. [10]


[11]


يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا


Yaa Hayyu Yaa Qoyyum, bi-rohmatika as-taghiits, wa ash-lih lii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan.


Artinya:


“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dariMu).” (Dibaca 1 x)


Faedah: Dzikir ini diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Fathimah supaya diamalkan pagi dan petang. [11]


[12]


سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ


Subhanallah wa bi-hamdih.


Artinya:


“Maha suci Allah, aku memuji-Nya.” (Dibaca 100 x)


Faedah: Barangsiapa yang mengucapkan kalimat ‘subhanallah wa bi hamdih’ di pagi dan petang hari sebanyak 100 x, maka tidak ada yang datang pada hari kiamat yang lebih baik dari yang ia lakukan kecuali orang yang mengucapkan semisal atau lebih dari itu.[12]


[13]


لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ


Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.


Artinya:


“Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca 1o x)


Faedah: Barangsiapa yang membaca dzikir tersebut di pagi hari sebanyak sepuluh kali, Allah akan mencatatkan baginya 10 kebaikan, menghapuskan baginya 10 kesalahan, ia juga mendapatkan kebaikan semisal memerdekakan 10 budak, Allah akan melindunginya dari gangguan setan hingg petang hari. Siapa yang mengucapkannya di petang hari, ia akan mendapatkan keutamaan semisal itu pula. [13]


[14]


أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ


A’udzu bikalimaatillahit-taammaati min syarri maa kholaq.


Artinya:


“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya.” (Dibaca 3 x pada waktu petang)


Faedah: Siapa yang mengucapkannya di petang hari, niscaya tidak ada racun atau binatang (seperti: kalajengking) yang mencelakakannya di malam itu.[14]


🟥 Footnote:


[1] HR. Al Hakim (1: 562). Syaikh Al Albani menshahihkan hadits tersebut dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 655.


[2] HR. Abu Daud no. 5082, Tirmidzi no. 3575. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.


[3] HR. Muslim no. 2723. Lihat keterangan Syarh Hisnul Muslim, hal. 161.


[4] HR. Tirmidzi no. 3391 dan Abu Daud no. 5068. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.


[5] HR. Bukhari no. 6306.


[6] HR. Abu Daud no. 5069. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan.


[7] HR. Abu Daud no. 5074 dan Ibnu Majah no. 3871. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.


[8] HR. Tirmidzi no. 3392 dan Abu Daud no. 5067. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahawa sanad hadits ini shahih. Adapun kalimat terakhir (وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ) adalah tambahan dari riwayat Ahmad 2: 196. Dikomentari oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa hadits tersebut shahih dilihat dari jalur lainnya (shahih lighoirihi).


[9] HR. Abu Daud no. 5088, 5089, Tirmidzi no. 3388, dan Ibnu Majah no. 3869. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.


[10] HR. Abu Daud no. 5072, Tirmidzi no. 3389. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan.


[11] HR. Ibnu As Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 46, An Nasai dalam Al Kubro (381/ 570), Al Bazzar dalam musnadnya (4/ 25/ 3107), Al Hakim (1: 545). Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 227.


[12] HR. Muslim no. 2692.


[13] HR. An Nasai Al Kubra 6: 10.


[14] HR. Ahmad 2: 290. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim. Lihat komentar Syaikh Syu’aib Al Arnauth terhadap hadits ini untuk pengertian hummah diartikan dengan racun atau sengatan kalajengking.

hukum orang yang meninggalkan sholat

 🟧⬛️ Apa Hukum Orang yang Meninggalkan Sholat?


Pertanyaan:


Apa yang harus dilakukan oleh seseorang, apabila ia telah menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat namun mereka tidak memperdulikannya, apa ia tetap tinggal bersama mereka dan bergaul dengan mereka atau keluar dari rumah tersebut?


🟩✅ Jawaban:


Jika keluarganya tidak mau melaksanakan shalat selamanya, berarti mereka kafir, murtad, keluar dari Islam, maka ia tidak boleh tinggal bersama mereka. 


Namun demikian ia wajib mendakwahi mereka dan terus menerus mengajak mereka, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk, karena orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir berdasarkan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah serta pendapat para sahabat dan pandangan yang benar.


Dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah tentang orang-orang musyrik:


فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِن


“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (Qs. At-Taubah: 11)


Artinya, jika mereka tidak melakukan itu, berarti mereka bukanlah saudara-saudara kita. 


Memang persaudaraan agama tidak gugur karena perbuatan-perbuatan maksiat walaupun besar, namun persaudaraan itu akan gugur ketika keluar dari Islam.


Dalil dari as-Sunnah adalah sabda Nabi shallallaahu’alaihi wasallam:


إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ


“Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”[1]


Disebutkan pula dalam Shahih Muslim sabda beliau dalam hadits Buraidah radhiallaahu’anhu dan kitab-kitab Sunan:


اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ


“Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir.”[2]


Ucapan para sahabat: Amirul Mukminin Umar radhiallaahu’anhu berkata:


“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”[3]


Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq mengatakan, “Para sahabat Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam tidak memandang suatu amal pun yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selain shalat.”


Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya? Tentu saja ini tidak masuk akal. 


Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal:


▶️ 1. Karena tidak ada dasar dalilnya;

▶️ 2. Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat;

▶️ 3. Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang diterima uzurnya untuk meninggalkan shalat;

▶️ 4. Atau, hal itu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat;

▶️ 5. Atau, hal itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan.


Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad. 


Lagi pula, tidak disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur nikmat atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran. 


Di antara hukum-hukum murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat:


✅ Pertama: Ia tidak sah menikah. 


Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak halal baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang para wanita yang berhijrah:


‏فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا


“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Qs. Al-Mumtahanah: 10)


✅ Kedua: Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur sehingga isterinya tidak lagi halal baginya. 


Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahlul ilmi, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.


✅ Ketiga: Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. 

Padahal, sembelihan orang Yahudi dan Nasrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. 


Ini berarti -na’udzu billah- sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang Yahudi dan Nasrani.


✅ Keempat: Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ إِن شَاء إِنَّ اللّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ


“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah: 28)


✅ Kelima: Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam warisan. 


Misalnya, ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak yang tidak shalat. Orang yang meninggal itu seorang Muslim yang shalat, sementara si anak itu tidak shalat, di samping itu ada juga sepupunya. 


Siapakah yang berhak mewarisinya? Tentu saja sepupunya, adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu’alaihi wasallam dalam hadits Usamah:


لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ


“Seorang Muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi orang Muslim.” (Muttafaq ‘Alaih) [4]


Juga berdasarkan sabda Nabi shallallaahu’alaihi wasallam:


لْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ


“Bagikan harta warisan kepada para ahlinya, adapun sisanya adalah untuk laki-laki yang paling berhak.” [5]


Hal ini pun berlaku untuk semua warisan.


✅ Keenam: Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslimin. 


Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang, kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak terhormat. 


Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang ia ketahui tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum Muslimin menyalatinya.


✅ Ketujuh: Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir -na’udzu billah-, dan ia tidak akan masuk surga. 


Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:


مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ


“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (Qs. At-Taubah: 113)


Jadi, saudara-saudaraku, masalah ini sangat berbahaya, namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap remeh masalah ini, di antaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat di rumahnya, padahal itu tidak boleh.

Wallahu a’lam. 


Semoga shalawat dan salam senantisa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.


Risalah Shifat Shalatin Nabi, hal. 29-30, Ibnu Utsaimin.


________


🟥 Catatan kaki:


[1] HR. Muslim, kitab al-Iman (82).

[2] HR. Ahmad (5/346), at-Tirmidzi, kitab al-Iman (2641), an-Nasa’i (1/232), Ibnu Majah (1079).

[3] HR. Malik, kitab ath-Thaharah (84).

[4] Muttafaq ‘Alaih; al-Bukhari, kitab al-Fara’idh (6764), Muslim, kitab al-Fara’idh (1614).

[5] Al-Bukhari, kitab al-Fara’idh (6732), Muslim, kitab al-Fara’idh (1615).


Sumber:

Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, Penerbit Darul Haq.

Hal-hal yang Membatalkan Iman

 Pembatal iman atau “nawaqidhul iman” adalah sesuatu yang dapat menghapuskan iman sesudah iman masuk didalamnya yakni antara lain:

1. Mengingkari rububiyah Allah atau sesuatu dari kekhususan-kekhususanNya, atau mengaku memiliki sesuatu dari kekhususan tersebut atau membenarkan orang yang mengakuinya.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa’, dan mereka sekali-kali tidak mempu-nyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24)

2. Sombong serta menolak beribadah kepada Allah.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembahNya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepadaNya. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal shalih, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan me-nambah untuk mereka sebagian dari karuniaNya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain daripadaNya.” (An-Nisa’: 172-173)

3. Menjadikan perantara dan penolong yang ia sembah atau ia mintai (pertolongan) selain Allah.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemadharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah’. Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya baik di langit dan tidak (pula) di bumi? Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).” (Yunus: 18)

“Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang meraka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah) orang-orang itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Ar-Radu: 14)

4. Menolak sesuatu yang ditetapkan Allah untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh RasulNya.

Begitu pula orang yang menyifati seseorang (makhluk) dengan sesuatu sifat yang khusus bagi Allah, seperti ilmu Allah. Termasuk juga menetapkan sesuatu yang dinafikan Allah dari diriNya atau yang telah dinafikan dariNya oleh RasulNya Shalallaahu alaihi wasalam.

Allah berfirman kepada Rasulnya: “Katakanlah, Dialah Allah, yang Mahaesa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 1-4)

“Hanya milik Allah asma’ husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180)

“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepadaNya. Apakah kamu mengetahui ada seseorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam: 65)

5. Mendustakan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tentang sesuatu yang beliau bawa.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulNya); kepada mereka telah datang rasul-rasulNya dengan mambawa mu’jizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaanKu.” (Fathir: 25-26)

6. Berkeyakinan bahwa petunjuk Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak sempurna atau menolak suatu hukum syara’ yang telah Allah turunkan kepadanya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah itu lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi hajat manusia, atau meyakini kesamaan hukum Allah dan RasulNya dengan hukum yang selainnya, atau meyakini dibolehkannya berhukum dengan selain hukum Allah.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak ber-hakim kepada thagut itu, padahal mereka telah diperintah meng-ingkari thagut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 60)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65)

“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

7. Tidak mau mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu tentang kekafiran mereka, sebab hal itu berarti meragukan apa yang dibawa oleh baginda Rasul Shalallaahu alaihi wasalam.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “…dan mereka berkata, Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami), dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya.” (Ibrahim: 9)

8. Mengolok-olok atau mengejek-ejek Allah atau Al-Qur’an atau agama Islam atau pahala dan siksa dan yang sejenisnya, atau mengolok-olok Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam atau seorang nabi, baik itu gurauan maupun sungguhan.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesung-guhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66)

9. Membantu orang musyrik atau menolong mereka untuk memusuhi orang muslim.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi pemimpin yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesung-guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Maidah: 51)

10. Meyakini bahwa orang-orang tertentu boleh keluar dari ajaran Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dan tidak wajib mengikuti ajaran beliau.

Allah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

11. Berpaling dari agama Allah, tidak mau mempelajarinya serta tidak mau mengamalkannya.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah: 22)

Inilah sebagian pembatal-pembatal iman yang paling nyata. Masih banyak pembatal-pembatal iman yang lain seperti sihir, menolak Al-Qur’an baik sebagian maupun keseluruhannya, atau meragukan ke-mu’jizatannya atau menghina mushaf atau sebagiannya, atau menghalalkan sesuatu yang sudah disepakati keharamannya seperti zina atau khamar, atau menghujat agama serta mencelanya.
Na’udzu billah min dzalik. Wallahu a’lam!

Khutbah Jumat: Evaluasi Masa Lalu, Siapkan Masa Depan

 لْحَمْدُ لِلَّهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ  ثُمَّ الْحَمْدُ لِلَّهِ . أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وأشهدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَانَبِيّ بعدَهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدابن عبد الله وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ في مُحْكَمِ كِتَابِهِ: وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى، وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَاب . وَقَالَ: يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ  وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ  إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ  

Ma’asyiral Muslimin Jamaah Shalat Jumat rahimakumullah, Di antara kewajiban yang harus dilakukan seorang khatib dalam khutbah Jumatnya adalah senantiasa mengingatkan, mengajak, dan berwasiat kepada jamaah untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Wasiat takwa ini menjadi rukun khutbah Jumat yang apabila ditinggalkan oleh khatib maka tidak sah khutbah Jumat yang disampaikannya. Sementara para ulama mendefinisikan takwa itu sendiri sebagai

  امْتِثَالُ أَوَامِرِ اللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ سِرًّا وَعَلَانِيَّةً ظَاهِرًا وَبَاطِنًا Yakni melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya baik dalam keadaan sepi maupun ramai, lahir dan juga batin. Oleh karenanya pada kesempatan Jumat kali ini, mari kita bersama-sama menguatkan komitmen untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Takwa ini sendiri akan menjadi pembeda bagi orang yang dimuliakan di sisi Allah. Orang yang bertakwa akan mendapat prioritas kemuliaan di sisi Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13:

 اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقٰىكُمْ   

 Artinya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”.  ADVERTISEMENT Ma’asyiral Muslimin Jamaah Shalat Jumat rahimakumullah,   Dalam Al-Qur’an, perintah untuk bertakwa kepada Allah swt sangatlah banyak. Perintah ini juga banyak yang dipadukan dengan berbagai perintah untuk terus memperkuat diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt dalam rangka menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Di antaranya seperti disebutkan dalam  Surat Al-Hasyr ayat 18:

  يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ  وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ  إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ   

 Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah sekaligus terus melakukan evaluasi, muhasabah atau introspeksi diri dengan melihat apa yang telah kita perbuat di masa lalu dan mempersiapkan masa depan agar lebih baik dari hari ini. Langkah ini bisa menjadi wujud syukur atas karunia yang telah diberikan Allah kepada kita karena kita masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini sampai dengan penghujung tahun ini. Mudah-mudahan dengan syukur ini, nikmat Allah akan terus ditambahkan kepada kita berupa karunia dipanjangkan umur kita oleh Allah sehingga kita akan bisa terus beribadah dan berbuat baik dalam kehidupan di dunia. Ma’asyiral Muslimin Jamaah Shalat Jumat rahimakumullah, Dalam ayat ini juga disebutkan bahwa termasuk orang-orang yang bertakwa  adalah mereka yang selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Sehingga jika kita lebih banyak melanggar larangan Allah, maka hendaklah kita berusaha menutupnya dengan amal-amal saleh. Ayat ini memerintahkan manusia agar selalu mawas diri, memperhitungkan segala yang telah dan akan diperbuatnya sebelum Allah menghitungnya di akhirat nanti.  Ayat ini pun ditutup dengan sebuah peringatan untuk bertaqwa kembali kepada Allah, karena Dia mengetahui semua yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, yang lahir maupun yang batin, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.  Oleh karena itu, sebagai insan yang bertaqwa, mari kita senantiasa melihat masa lalu kita di tahun ini dan mengkalkulasi, apakah lebih banyak kebaikan yang telah kita lakukan dibanding dengan keburukan? Atau malah sebaliknya, banyak hal-hal yang buruk kita lakukan sehingga kebaikan kita tertutup oleh keburukan di tahun ini? Introspeksi ini akan menjadi modal bagi kita untuk mempersiapkan masa depan agar hal-hal yang buruk tidak terjadi lagi. Nabi Muhammad saw pun mengingat kepada kita semua agar terus melakukan perubahan-perubahan menuju kebaikan sehingga menjadi orang-orang beruntung. Jangan sampai kita menjadi orang yang merugi apalagi sampai menjadi golongan orang celaka dengan tidak memperbaiki masa depan ke arah yang lebih baik:

 مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ . وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ 

  Artinya: “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka." (HR. Al Hakim). Ma’asyiral Muslimin Jamaah Shalat Jumat rahimakumullah, Saatnya di penghujung tahun ini kita juga mengamalkan pesan Khalifah Umar bin Khatthab: 

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا

 Artinya: “Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihitung” Dalam hal ini, mengapa Sayyidina Umar menilai bahwa evaluasi diri lebih dini akan menguntungkan kita pada kehidupan kelak? Karena dengan mengevaluasi diri sendiri, kita akan mengenali kekurangan-kekurangan kita yang diharapkan dapat diperbaiki sesegera mungkin. Kondisi ini akan meminimalkan kesalahan sehinga tanggung jawab dalam kehidupan kita di akhirat nanti menjadi lebih ringan. Semoga kita senantiasa diberikan rahmat oleh Allah swt agar masa depan kita di tahun yang akan datang bisa lebih baik dari tahun ini. Amin.

 بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ  َأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم  

 Khutbah II  

 الْحَمْدُ لِلَّهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ  ثُمَّ الْحَمْدُ لِلَّهِ . أَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وأشهدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَانَبِيّ بعدَهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى اِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ . اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ والقُرُوْنَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.  عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ